Saya sangat menyukai
buku. Uang harian saya selalu saya sisihkan agar saya bisa membeli beberapa
buku setiap bulannya. Namun semakin melonjaknya harga buku, saya jadi kewalahan
karena tabungan bulanan saya hanya cukup untuk membeli satu buku saja perbulannya.
Jadi, saya siasati masalah tersebut dengan cara berjalan kaki dari stasiun
kereta ke rumah, agar saya dapat memangkas biaya ongkos harian dan buku pun
terbeli lebih banyak.
Sekitar 2 bulan yang
lalu, saya berjalan-jalan ke sebuah toko tas untuk membeli tas baru. Sekilas
saya mencari tas yang bahannya bagus dan awet agar saya tidak terlalu sering
mengganti tas.
Pandangan saya
langsung tertuju pada sebuah toko tas yang menyajikan tas-tas berukuran besar.
Seketika pula seorang pelayan toko menghampiri saya,
Pelayan:
"Selamat siang, Mas. Silakan lihat-lihat toko kami. Ada tas yang
kualitasnya bagus-bagus."
Saya: "Iya nih
Mas, saya lagi nyari tas yang kualitas bahannya bagus. Plus bentuk dan
ukurannya pas buat nampung buku-buku sama laptop."
Pelayan: *Merogoh
salah satu tas yang tergantung di dinding* "Kalau yang ini gimana mas? Ini
bahannya bagus, awet, empuk di punggung, pokoknya pas lah buat Mas."
Saya melihat tas itu
... Itu adalah tas yang kelihatannya kokoh, tetapi warna-warni. Atasnya
berwarna kuning cerah, bawahnya warna merah marun, talinya warna hijau cerah.
Sepertinya akan sangat memalukan bila saya gunakan tas itu saat sedang berjalan
kaki.
Saya: "Emm ...
Ada warna lain ga Mas? Yang warna item atau biru tua gitu ...."
Pelayan: "Aduh
maaf Mas, ini tas yang paling laku di sini. Jadi stoknya tinggal yang satu ini
...."
Saya: "Waduh,
gini Mas ... Saya kan suka jalan kaki, kalau saya jalan kaki pake ...."
Pelayan: "NAH!
Mas suka jalan kaki?" *merogoh tas lain*
Pelayan: "Yang
ini aja gimana Mas? Warnanya kolaborasi antara hitam sama abu-abu, ukurannya
sama dengan yang tadi, harganya juga sama. Kalau yang ini ada plusnya, ada kain
plastik antihujannya. Tas ini emang didesain buat orang-orang kayak Mas, yang
suka pake tas di luar ruangan gitu."
Saya langsung
berpikir sejenak. Harganya sama, ukurannya sama, warnanya pas dengan selera
saya, ditambah lagi ada kain plastik anti-hujannya ... Tentu membeli tas ini lebih menguntungkan daripada yang tadi.
Ini tas yang saya cari.
Saya pun langsung
memilih tas tersebut, membayarnya, lalu membawa pulang tas tersebut dengan
perasaan senang.
Seminggu yang lalu,
saya berjalan kaki dari stasiun kereta ke rumah sembari menggunakan tas baru
saya. Waktu itu, sore hari, memang cuacanya agak mendung. Tetapi saya tetap
saja memilih untuk berjalan kaki untuk menghemat pengeluaran.
Saat itu, saya
sedang membawa sebuah prakarya seni yang terbuat dari sterofoam, berukuran
sekitar 100 cm x 50 cm x 30 cm di atas sebuah tripleks yang luasnya sama dengan
prakarya tersebut. Prakarya sebesar itu saya bawa dengan kedua tangan saya dan
dibungkus kantung plastik berukuran besar agar tidak terlihat mencolok.
Perjalanan saya
kurang lebih tinggal beberapa blok lagi. Tiba-tiba saja hujan turun dengan
sangat lebat. Sialnya, tidak ada tempat berteduh di sepanjang jalan itu. Dengan
bawaan yang serepot itu, saya tidak sempat mengambil kain plastik anti-hujan
untuk tas saya. Akhirnya saya memilih untuk lari secepat-cepatnya sembari
hujan-hujanan.
Walaupun kurang dari
3 menit, tetapi tubuh saya sudah basah semuanya. Setibanya di rumah, saya
langsung membongkar apapun yang saya bawa. Di jaket, ponsel dan dompet saya
kering. Di dalam kantung plastik, prakarya saya juga kering. Dan di tas ...
Basah semua.
Saya langsung
terkejut ketika melihat tas baru saya berubah menjadi "kolam mini".
Yap, ada air menggenang di dalamnya. Di dalamnya ada buku literatur psikologi
yang terendam seperempatnya.
Buku saya ....
Buku setebal 400
halaman hasil perjuangan menabung 2 bulan ....
Buku yang baru saya
baca separuhnya ....
Luntur ....
****
Tidak, kali ini saya
tidak akan membahas tentang buku literatur saya yang luntur. Meskipun saya
sangat sedih, tetapi saya mencoba untuk memetik hikmah dari kejadian yang satu
ini.
Dulu, ketika
memilah-milih tas di toko, saya melihat bahwa tas ini adalah tas yang sempurna.
Tas ini saya anggap menguntungkan ketimbang tas yang lain karena ada kain
plastik anti-hujannya. Tetapi ternyata, sekarang saya paham mengapa harga tas
berbonus kain plastik ini sama saja dengan tas lain: Bahan utama tas ini adalah
bahan yang tidak tahan hujan.
Yap, sekilas bahan
tas ini terlihat mirip dengan tas yang lain, sehingga saya berpikir bahwa tas
ini sama bagusnya. Tetapi ternyata itu hanya tipuan. Si penjual mengatakan
bahwa tas ini lebih menguntungkan daripada yang lain, padahal kalau
dipikir-pikir ya sama saja.
Tetapi di sinilah
saya memahami satu pemahaman baru, bahwa apapun yang dilebihkan, pasti ada yang
dikurangi.
Kalau ada yang dilebihkan, pasti ada yang dikurangi.
Kalau ada yang dikurangi, pasti ada yang dilebihkan.
Think Again - Sayoga R. Prasetyo
Lantas apakah konsep tersebut berlaku untuk seluruh aspek kehidupan? Ya.
Sering kita lihat
anak-anak yang pandai berhitung dan membaca namun memiliki kekurangan dalam
kemampuan menari.
Sering kita lihat
remaja yang handal memahami dan menguasai suatu pemahaman, tetapi lemah dalam
hal berhitung cepat.
Sering pula kita
lihat orang dewasa yang tidak terlalu cerdas secara akademis, tetapi memiliki
kemampuan hebat dalam mengatur dan memimpin orang banyak.
Itu merupakan contoh
bahwa apapun yang dilebihkan, pasti ada yang dikurangi.
Lalu apa yang harus
kita lakukan? Apakah kita harus sibuk menambal kekurangan kita? Atau sibuk
meningkatkan kelebihan kita? Mari kita lihat beberapa contohnya.
Sekarang
saya ingin Anda membayangkan seekor hiu. Ya, hiu adalah hewan yang memiliki
kelebihan berupa sirip yang kuat, gigi yang tajam, serta tubuh yang besar.
Tetapi hiu juga memiliki kelemahan, yakni ia tidak bisa hidup di darat.
Sekarang
Anda bayangkan, lebih seram mana, hiu yang memaksimalkan kekuatannya
(menggunakan kekuatan tubuhnya untuk mencari makan dan melindungi diri) atau
yang menutupi kelemahannya (mampu hidup di darat)?
Jika
Anda jeli, maka Anda pasti memilih yang pertama. Toh sekalipun hiu bisa hidup
di darat, hiu itu tidak akan bisa menyerang kita. Hiu tidak memiliki kaki.
Sekarang
Anda bayangkan seekor gajah. Ya, gajah adalah hewan mamalia yang memiliki
kekuatan berupa tubuh yang besar dan tenaga yang kuat. Namun gajah juga
memiliki kelemahan, gajah tidak bisa melompat.
Menurut
Anda, lebih baik mana, gajah yang memaksimalkan kekuatannya (menggunakan
kekuatannya untuk mencari makan dan melindungi diri) atau yang menutupi
kelemahannya (mampu melompat)?
Jika
Anda jeli, Anda pasti memilih yang pertama. Toh gajah yang bisa melompat akan
dimusnahkan manusia karena dianggap hewan pengganggu yang tidak berguna.
Dari
contoh-contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa siapapun yang berfokus pada
kelemahannnya, sulit berkembang.
Albert
Enstein, seorang fisikawan jenius asal Jerman. Ia dianugerahi kelebihan berupa
kemampuan logika sains yang luar biasa. Tetapi ia juga punya kelemahan, Enstein
tidak pernah memahami seni. Bahkan waktu sekolah, ia sering mendapatkan nilai 0
pada pelajaran seni.
Sekarang
silakan Anda bayangkan, apa yang akan terjadi jika Enstein berfokus menutupi
kelemahannya? Ya, ia tidak akan pernah mendapat gelar sebagai ilmuan sains
terjenius sepanjang sejarah.
Lihat,
orang-orang hebat pun lahir karena
mereka tidak berfokus pada kelemahan mereka.
So, bagi Anda yang sudah memahami kekurangan
dan kelebihan Anda, belajarlah untuk mengatur fokus Anda. Anda tidak perlu
bersusah payah untuk menghilangkan kelemahan Anda. Yang Anda perlukan adalah
menyiasati kelemahan Anda, sembari terus berfokus pada kelebihan Anda.
Jadi apakah Anda
sudah mengatur fokus Anda dengan baik? Think
Again.
Komentar
Posting Komentar
Ada tambahan? Atau ada sanggahan? Silakan utarakan :)