Think Again - Manajer Pribadi

Manajer - Sumber gambar: http://sywids.net

Sumber Inspirasi - Sudah 6 bulan terakhir ini saya menggunakan ponsel pintar. Mengapa? Yang jelas karena saya mendapatkan informasi bahwa ponsel pintar dapat meringkas beberapa pekerjaan menjadi lebih cepat. Selain itu, ponsel pintar juga memiliki berbagai fitur semacam to do list dan time manager yang dapat dimanfaatkan sebagai alat pengganti manajer pribadi.


Sejak pertama kali membelinya, saya begitu dekat dengan ponsel pintar saya. Ya, hampir setiap jam saya melirik ponsel saya untuk mengecek apa yang harus saya lakukan. Dapat dikatakan ponsel itu adalah manajer pribadi yang siap membimbing saya untuk menjadi manusia produktif.

Namun tragisnya, akhir-akhir ini ponsel pintar saya rusak. Praktis, ponsel saya tak berfungsi sama sekali. Astaga ....

Beberapa hari yang lalu, tepat sepulang dari kampus, salah satu teman saya berdiri di depan kelas dan berteriak agak keras,

Rekan saya: "Temen-temen, jangan lupa besok pagi ada kuliah Pak Aji. Soalnya Pak Aji hari kamis berhalangan hadir, jadi diganti besok ya."

Waktu itu saya sedang terburu-buru karena jadwal keberangkatan kereta adalah 30 menit lagi. Sedangkan waktu yang dibutuhkan dari kampus saya ke stasiun adalah sekitar 30 menit. Apabila saya bersantai sebentar saja, maka saya harus menunggu jadwal keberangkatan berikutnya.

Saya belum tahu jam berapa kuliahnya, di mana ruangannya ... Ah, itu sih urusan nanti. Saya kan bisa bertanya pada rekan saya lewat SMS. Yang penting sekarang saya tidak ketinggalan kereta.

Singkat cerita saya tiba di rumah dan ... Eh ... Tunggu ... BUKANNYA PONSEL SAYA SEDANG RUSAK YA? Bagaimana caranya agar saya bisa bertanya pada teman saya? Saya tak punya ponsel, dan saya tak punya koneksi internet ... Ah, bisa-bisanya saya lupa ....

Keesokan harinya, saya berangkat pukul 5 pagi. Rencananya, saya akan duduk di dekat pintu masuk depan gedung kampus dan bersiap mencegat apabila ada teman sekelas saya yang datang. Mudah-mudahan strategi ini berhasil.

Satu jam kemudian ... Sepi.

Dua jam kemudian ... Sepi.

Tiga jam kemudian ... Sepi.

Kurang lebih 4 jam saya duduk di tempat yang sama dan tak ada tanda-tanda kemunculan teman sekelas saya. Saya berpikir, pasti kuliahnya dibatalkan.

Kemudian saya bergerak menjauhi gedung. Dan ...

"SAYOGA!"

Saya menoleh. Ternyata itu teman-teman saya yang sedang bergerombol menuju kantin.

Teman saya: "Kamu tadi ke mana? Kok gak ikut kuliah Pak Aji?"

Saya: "Itu kuliahnya gak dibatalin? Emangnya kuliahnya jam berapa? Di mana?"

Teman saya: "Jam 10, di gedung belakang. Itu lho, gedung yang di deket pintu masuk belakang."

Saya: " .... "

****

Jangan ditanya seberapa kesalnya saya waktu itu. Tetapi ... Pada siapa saya harus kesal? Teman saya? Ponsel saya? Saya sendiri? Kereta api? Dosen saya?

Nyatanya, tak ada. Tak ada yang bisa saya salahkan. Alhasil saya mengurungkan niat saya untuk marah.

Alih-alih, saya mencoba untuk mengambil hikmah dari kejadian ini.

Coba perhatikan. Kalau dipikir-pikir, semua pihak yang saya ceritakan pantas untuk disalahkan. Tetapi kesalahan yang paling menonjol sebetulnya ada pada diri saya sendiri. Apa kesalahan saya?

Ya, saya terlalu bergantung pada teknologi.

Pada awalnya saya pikir ponsel pintar akan membuat saya lebih mampu mengerjakan banyak pekerjaan. Kenyataannya, ponsel pintar itu malah membuat saya menjadi pemalas.

Coba pikirkan, gara-gara saya bergantung pada ponsel saya, saya jadi malas mendengarkan informasi yang disampaikan teman saya. Seandainya saya tidak punya ponsel, mungkin saya akan memiliki kemampuan mendengarkan dan mengingat yang lebih baik.

Itu adalah contoh sederhana, bahwa kehidupan yang lebih baik akan kita dapatkan ketika kita berhenti bergantung pada orang lain.


"Jika Anda ingin tahu bagaimana rasanya menjadi manusia yang sesungguhnya, bergantunglah hanya pada 2 hal: Tuhan dan diri Anda sendiri."

Think Again - Sayoga R. Prasetyo


Mari kita lihat contoh-contoh lainnya.

Seorang remaja terbiasa berkomunikasi menggunakan aplikasi chatting di ponsel, kapanpun dan dimanapun ia selalu chatting menggunakan ponselnya. Ketika ponselnya rusak, ia akan bingung bagaimana cara memperluas pergaulannya di dunia nyata.

Seorang wirausahawan terbiasa mengandalkan 2 orang pekerjanya untuk menjalankan bisnis yang ia tekuni. Pekerjaannya ya hanya mengawasi 2 orang tersebut dan tidak melakukan apa-apa lagi. Ketika kedua pekerja itu mengundurkan diri, dia akan kebingungan bagaimana cara mengembangkan bisnisnya.

Lihat, bergantung pada orang lain atau pada suatu benda dapat menyebabkan kita tumbuh menjadi manusia yang tidak siap menghadapi tantangan.

Lantas apa yang harus dilakukan oleh orang-orang yang sudah terlanjur terbiasa bergantung pada orang lain?

Pada dasarnya, semua orang senang bergantung pada orang lain karena ketika kita bergantung pada orang lain, akan muncul perasaan aman. Jadi apabila ada orang yang bergantung pada orang lain, pasti orang tersebut sedang merasa tidak aman.

Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk melepas kebiasaan bergantung pada orang lain adalah dengan cara bergantung pada Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan mampu memberikan rasa aman yang lebih tinggi dari apapun. Ketika Anda merasa aman, Anda tidak mungkin bergantung lagi kepada orang lain.

Hmm ... Penjelasan saya kali ini cukup teoretis ya? Tetapi apabila Anda paham, penjelasan ini bisa Anda jadikan pegangan untuk tumbuh menjadi pribadi yang mandiri.

Oke, jadi kesimpulannya,

Percayalah bahwa masa depan Anda terlalu berharga untuk Anda bebankan kepada orang lain. Berproseslah, jadilah pekerja keras yang mandiri. Anda boleh meminta tolong, tetapi jangan bergantung pada orang yang Anda mintai tolong. Karena bergantung pada orang lain akan menurunkan nilai kemuliaan Anda di masa depan.


Jadi, apakah Anda masih tertarik untuk bergantung pada orang lain? Think Again.

Komentar